sunflocityy

D-day

Zean pun pergi ke mobil bersama adik-adiknya, mereka menggunakan 1 mobil yang berisi 5 orang, paling depan supir bersama Zean, di tengah ada Jeviar dan Rezayn, dan di belakang ada Najendra dan Heksara.

“Weh kenapa gue yang di belakang sih? Engap anjir mana sama si Najen,” sahut Heksa dari belakang.

“Elah lo bawel banget, duduk aja napa sih dari pada gue turunin nanti,” balas Zean.

“Lo yang gue turunin, harus nya lo beda kendaraan sama kita,” sambung Heksa.

“Makanya beliin mobil dong buat gue, biar gue bisa berangkat sendiri,” balas Zean kembali.

“Aelah ribut mulu lo pada, gue turunin semuanya tau rasa lo,” sambung Jeviar dari tengah.

Seperti ini lah kira-kira isi mobil mereka, penuh dengan ocehan antara kaka dan adik. Setelah beberapa menit kemudian mereka pun sampai di depan kampus.

“Kak, lo turun duluan ya disini kita turun di sana,” pinta Najendra

“Dih? Siapa lo nyuruh-nyuruh gue? Suka suka gue lah,” balas Zean.

“Kak is jangan turun bareng bahaya,” sambung Reza.

“Bahaya apa sih? Ohh gue tau, takut cewe kalian pada cemburu ya? Aelah bocah nyebelin banget, iya deh iya gue turun, belajar yang bener lo pada,” ucap Zean sambil menunjuk adiknya satu persatu.

“Iyaa elah santuy ae, udah sana,” balas Heksa.

Zean pun turun dari mobil dan langsung menuju ke kelas nya, kemudian mobil Aderfia pun pergi dari tempat tersebut dan menuju ke parkiran kampus.

“Pak nanti gausah jemput ya, kita mau nongki dulu,” ucap Jeviar pada bapak supir.

“Oke siap,” balas bapak supir.

Mereka pun turun satu persatu dari mobil nya dan langsung menuju ke kelasnya masing-masing.

Jeviar bersama Najendra masuk kelas bahasa, kemudian Reza dan Heksa masuk kelas teknik.

Zean pun pergi ke mobil bersama adik-adiknya, mereka menggunakan 1 mobil yang berisi 5 orang, paling depan supir bersama Zean, di tengah ada Jeviar dan Rezayn, dan di belakang ada Najendra dan Heksara.

“Weh kenapa gue yang di belakang sih? Engap anjir mana sama si Najen,” sahut Heksa dari belakang.

“Elah lo bawel banget, duduk aja napa sih dari pada gue turunin nanti,” balas Zean.

“Lo yang gue turunin, harus nya lo beda kendaraan sama kita,” sambung Heksa.

“Makanya beliin mobil dong buat gue, biar gue bisa berangkat sendiri,” balas Zean kembali.

“Aelah ribut mulu lo pada, gue turunin semuanya tau rasa lo,” sambung Jeviar dari tengah.

Seperti ini lah kira-kira isi mobil mereka, penuh dengan ocehan antara kaka dan adik. Setelah beberapa menit kemudian mereka pun sampai di depan kampus.

“Kak, lo turun duluan ya disini kita turun di sana,” pinta Najendra

“Dih? Siapa lo nyuruh-nyuruh gue? Suka suka gue lah,” balas Zean.

“Kak is jangan turun bareng bahaya,” sambung Reza.

“Bahaya apa sih? Ohh gue tau, takut cewe kalian pada cemburu ya? Aelah bocah nyebelin banget, iya deh iya gue turun, belajar yang bener lo pada,” ucap Zean sambil menunjuk adiknya satu persatu.

“Iyaa elah santuy ae, udah sana,” balas Heksa.

Zean pun turun dari mobil dan langsung menuju ke kelas nya, kemudian mobil Aderfia pun pergi dari tempat tersebut dan menuju ke parkiran kampus.

“Pak nanti gausah jemput ya, kita mau nongki dulu,” ucap Jeviar pada bapak supir.

“Oke siap,” balas bapak supir.

Mereka pun turun satu persatu dari mobil nya dan langsung menuju ke kelasnya masing-masing.

Jeviar bersama Najendra masuk kelas bahasa, kemudian Reza dan Heksa masuk kelas teknik.

Menunggu Abian

Setelah membersihkan dirinya di toilet, Alana pun pergi ke kelas nya kembali, dikarenakan kelas nya sudah selesai, ia bersantai terlebih dahulu di kelasnya itu.

Alana pun kembali duduk di kursi nya dan menulis catatan yang ada di papan tulis, sementara itu Sasa teman sebangku nya saat ini hanya sibuk memandangi hp nya.

“Liatin apa sih lo, serius bangett? Haha,” ucap Alana sambil lirik ke hp Sasa.

“Kepoo ih, btw lo mau ke kantin gak? Gue laper nih,” ajak Sasa sambil mengusap perutnya menandakan bahwa ia kelaparan.

“Lo duluan aja, gue masih nulis nih,” tolak Alana.

“Yaudah deh, gue duluan yaa, byee,”

“Byee,”

Sasa pun bangkit dari duduk nya dan langsung menuju ke kantin, Alana melanjutkan nulis nya kembali sambil menunggu Abian keluar dari kelasnya.

Saat ini Tama yang duduk di belakang Alana pindah ke tempat duduk Sasa yang berada samping Alana.

“Masih banyak, Al?” tanya Tama.

“Lumayan nih, kenapa?” tanya Alana kembali.

“Gue mau ke kantin, lo mau nitip gak?”

“Gausah, Tam.. Gue nanti ke kantin kok abis nyatet kelar,”

“Ohh okee, gue bareng lo aja deh,”

“Gausah, Tam, kalo lo laper gapapa duluan aja, soalnya gue juga nunggu Abian, hehe,”

Ohh, Abian,” batin Tama.

“Ohh gitu, yaudah gue duluan yaa,”

“Okee, Tam,”

Setelah itu Tama pun pergi meninggalkan Alana, dan Alana melanjutkan nulisnya kembali.

Setelah beberapa menit kemudian Abian pun datang ke kelas Alana dan langsung menghampiri Alana.

“Al, ke kantin ayo, laper nih gue,” ajak Abian sambil memegang perutnya.

“Bentar-bentar, dikit lagi nih,” balas Alana yang sedang menulis.

“Ihh ayoo, gue laperrr, keburu bel lagi nanti,”

“Iss yaudah iyaiya ayoo,”

“Okaayyy,”

Alana dan Abian pun pergi ke kantin bersamaan, saat mereka berjalan menuju ke kantin banyak para siswa/i yang memperhatikannya, tetapi karena sudah terbiasa mereka dipandang seperti itu, sikap mereka biasa saja dan mereka memaklumi nya, karena tidak ada kata kata yang menyakiti hati mereka.

Akhir dari segalanya

Haidar pergi meninggalkan Eri seorang diri, ia merasa dirinya sangat lelah setelah melewati sebuah permasalahan pada malam itu, tapi disisi lain ia merasa sedikit lega bahwa dirinya bisa meninggalkan seseorang yang awalnya ia sayangi hingga saat ini sangat ia benci.

Haidar merebahkan tubuhnya di atas kasur, matanya menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Baru saja hendak memejamkan mata, tiba-tiba otaknya teringat oleh sebuah surat yang sempat diberikan Clara, pesan yang ditulis oleh mendiang Kia untuk dirinya. Ia segera bangkit, kemudian mulai mencarinya pada sebuah meja yang letaknya tidak jauh dari kasurnya. Nampak amplop berwarna coklat teronggok di antara beberapa tumpukan buku-bukunya. Segera Haidar meraihnya, kemudian mulai membukanya dengan hati-hati, seolah tak ingin merusak maha karya satu-satunya yang ditinggalkan Kia untuk dirinya.

Haidar membuka surat itu dengan perlahan, kemudian ia membaca surat itu.

Tes

Tes

Tes

Tak disadari air mata Haidar kini terjatuh membasahi pipinya, ia merasakan sesak di dada nya setelah membaca isi surat itu, kini ia hanya bisa terdiam di bangku kesayangannya itu.

Kemudian Haidar bangkit kembali dan merebahkan tubuh nya di kasur, ia merasakan penyesalan pada diri nya, penyesalan terbesar yang ada pada diri Haidar hanyalah sebuah kelalaian, tak seharusnya ia memperlakukan adiknya seperti ini, andai saja waktu itu ia tidak menyia-nyiakan hari nya bersama Kia, pasti dirinya saat ini tidak seberat apa yang ia rasakan.

Haidar menangis kembali, ia mengingat semua perjuangan Kia bagaimana Kia membesarkan dirinya tanpa hadir nya seorang kakak. Ia merasa sangat terpukul, merasa sangat kehilangan, dan saat ini ia kehilangan orang-orang yang sayang padanya, termasuk orang tuanya, adiknya, dan pacarnya.

Ki.. Kenapa gak bilang kalau lo punya penyakit itu? Kenapa gak bilang sama gua Ki, Kenapa!?” sesal Haidar sambil memukul kepalanya.

Haidar, lo bego, tolol, lo gak pantes buat hidup, Anjing! Dar, kenapa sifat lo kaya gini, lo ga pantes buat jadi aa nya Kia, Dar..

Lagi-lagi ia memukul dirinya sendiri karena kesesalannya itu. Ia hanya bisa meluapkan amarahnya pada dirinya sendiri, Haidar tidak bisa meluapkan emosinya pada orang lain , karena bagaimana pun juga ini semua kesahalan Haidar, dan ia harus tanggung jawab pada dirinya sendiri.

Ki, lo bilang lo mau ke pantai? Ayo Ki kita ke pantai, kapan mau ke pantai? Mau sekarang atau besok? Gua selalu siap buat anter lo, Ki..

Ki, ayo main bareng..

Haidar kembali menahan rasa sesak di dadanya, ia mengenggam surat dari Kia, dengan sengaja ia mengepalkan tangannya dan membuat surat itu lecek tak beraturan.

Ki, maafin aa, ya? Aa tau, aa udah buat kesalahan yang sangat besar, tapi tolong, aa minta maaf, ya?

Ki, lo yang tenang disana, ya? Bahagia terus disana, sekarang lo udah gak rasain sakit lagi, lo udah gak dengerin omelan gua lagi, makasih ya, Ki.. Makasih lo udah mau sabar hadapin gua, makasih lo udah mau jadi adik gua, gua sayang Ki sama lo, nanti gua sering-sering kesana ya, Ki? Gua disini bakal selalu doain lo, lo bahagia terus ya, gua bakal usaha buat diri gua bahagia, Ki..

Semesta, tolong jaga Kia disana, ya?

Terima kasih, Kia adikku

  • Haidar Candrawinata –

Haidar pergi meninggalkan Eri seorang diri, ia merasa dirinya sangat lelah setelah melewati sebuah permasalahan pada malam itu, tapi disisi lain ia merasa sedikit lega bahwa dirinya bisa meninggalkan seseorang yang awalnya ia sayangi hingga saat ini sangat ia benci.

Haidar merebahkan tubuhnya di atas kasur, matanya menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Baru saja hendak memejamkan mata, tiba-tiba otaknya teringat oleh sebuah surat yang sempat diberikan Clara, pesan yang ditulis oleh mendiang Kia untuk dirinya. Ia segera bangkit, kemudian mulai mencarinya pada sebuah meja yang letaknya tidak jauh dari kasurnya. Nampak amplop berwarna coklat teronggok di antara beberapa tumpukan buku-bukunya. Segera Haidar meraihnya, kemudian mulai membukanya dengan hati-hati, seolah tak ingin merusak maha karya satu-satunya yang ditinggalkan Kia untuk dirinya.

Haidar membuka surat itu dengan perlahan, kemudian ia membaca surat itu.

Tes

Tes

Tes

Tak disadari air mata Haidar kini terjatuh membasahi pipinya, ia merasakan sesak di dada nya setelah membaca isi surat itu, kini ia hanya bisa terdiam di bangku kesayangannya itu.

Kemudian Haidar bangkit kembali dan merebahkan tubuh nya di kasur, ia merasakan penyesalan pada diri nya, penyesalan terbesar yang ada pada diri Haidar hanyalah sebuah kelalaian, tak seharusnya ia memperlakukan adiknya seperti ini, andai saja waktu itu ia tidak menyia-nyiakan hari nya bersama Kia, pasti dirinya saat ini tidak seberat apa yang ia rasakan.

Haidar menangis kembali, ia mengingat semua perjuangan Kia bagaimana Kia membesarkan dirinya tanpa hadir nya seorang kakak. Ia merasa sangat terpukul, merasa sangat kehilangan, dan saat ini ia kehilangan orang-orang yang sayang padanya, termasuk orang tuanya, adiknya, dan pacarnya.

Ki.. Kenapa gak bilang kalau lo punya penyakit itu? Kenapa gak bilang sama gua Ki, Kenapa!?” sesal Haidar sambil memukul kepalanya.

Haidar, lo bego, tolol, lo gak pantes buat hidup, Anjing! Dar, kenapa sifat lo kaya gini, lo ga pantes buat jadi aa nya Kia, Dar..

Lagi-lagi ia memukul dirinya sendiri karena kesesalannya itu. Ia hanya bisa meluapkan amarahnya pada dirinya sendiri, Haidar tidak bisa meluapkan emosinya pada orang lain , karena bagaimana pun juga ini semua kesahalan Haidar, dan ia harus tanggung jawab pada dirinya sendiri.

Ki, lo bilang lo mau ke pantai? Ayo Ki kita ke pantai, kapan mau ke pantai? Mau sekarang atau besok? Gua selalu siap buat anter lo, Ki..

Ki, ayo main bareng..

Haidar kembali menahan rasa sesak di dadanya, ia mengenggam surat dari Kia, dengan sengaja ia mengepalkan tangannya dan membuat surat itu lecek tak beraturan.

Ki, maafin aa, ya? Aa tau, aa udah buat kesalahan yang sangat besar, tapi tolong, aa minta maaf, ya?

Ki, lo yang tenang disana, ya? Bahagia terus disana, sekarang lo udah gak rasain sakit lagi, lo udah gak dengerin omelan gua lagi, makasih ya, Ki.. Makasih lo udah mau sabar hadapin gua, makasih lo udah mau jadi adik gua, gua sayang Ki sama lo, nanti gua sering-sering kesana ya, Ki? Gua disini bakal selalu doain lo, lo bahagia terus ya, gua bakal usaha buat diri gua bahagia, Ki..

Semesta, tolong jaga Kia disana, ya?

Terima kasih, Kia adikku

  • Haidar Candrawinata –

Haidar pergi meninggalkan Eri seorang diri, ia merasa dirinya sangat lelah setelah melewati sebuah permasalahan pada malam itu, tapi disisi lain ia merasa sedikit lega bahwa dirinya bisa meninggalkan seseorang yang awalnya ia sayangi hingga saat ini sangat ia benci.

Haidar merebahkan tubuhnya di atas kasur, matanya menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Baru saja hendak memejamkan mata, tiba-tiba otaknya teringat oleh sebuah surat yang sempat diberikan Clara, pesan yang ditulis oleh mendiang Kia untuk dirinya. Ia segera bangkit, kemudian mulai mencarinya pada sebuah meja yang letaknya tidak jauh dari kasurnya. Nampak amplop berwarna coklat teronggok di antara beberapa tumpukan buku-bukunya. Segera Haidar meraihnya, kemudian mulai membukanya dengan hati-hati, seolah tak ingin merusak maha karya satu-satunya yang ditinggalkan Kia untuk dirinya.

Haidar membuka surat itu dengan perlahan, kemudian ia membaca surat itu.

Tes

Tes

Tes

Tak disadari air mata Haidar kini terjatuh membasahi pipinya, ia merasakan sesak di dada nya setelah membaca isi surat itu, kini ia hanya bisa terdiam di bangku kesayangannya itu.

Kemudian Haidar bangkit kembali dan merebahkan tubuh nya di kasur, ia merasakan penyesalan pada diri nya, penyesalan terbesar yang ada pada diri Haidar hanyalah sebuah kelalaian, tak seharusnya ia memperlakukan adiknya seperti ini, andai saja waktu itu ia tidak menyia-nyiakan hari nya bersama Kia, pasti dirinya saat ini tidak seberat apa yang ia rasakan.

Haidar menangis kembali, ia mengingat semua perjuangan Kia bagaimana Kia membesarkan dirinya tanpa hadir nya seorang kakak. Ia merasa sangat terpukul, merasa sangat kehilangan, dan saat ini ia kehilangan orang-orang yang sayang padanya, termasuk orang tuanya, adiknya, dan pacarnya.

Ki.. Kenapa gak bilang kalau lo punya penyakit itu? Kenapa gak bilang sama gua Ki, Kenapa!?” sesal Haidar sambil memukul kepalanya.

Haidar, lo bego, tolol, lo gak pantes buat hidup, Anjing! Dar, kenapa sifat lo kaya gini, lo ga pantes buat jadi aa nya Kia, Dar..

Lagi-lagi ia memukul dirinya sendiri karena kesesalannya itu. Ia hanya bisa meluapkan amarahnya pada dirinya sendiri, Haidar tidak bisa meluapkan emosinya pada orang lain , karena bagaimana pun juga ini semua kesahalan Haidar, dan ia harus tanggung jawab pada dirinya sendiri.

Ki, lo bilang lo mau ke pantai? Ayo Ki kita ke pantai, kapan mau ke pantai? Mau sekarang atau besok? Gua selalu siap buat anter lo, Ki..

Ki, ayo main bareng..

Haidar kembali menahan rasa sesak di dadanya, ia mengenggam surat dari Kia, dengan sengaja ia mengepalkan tangannya dan membuat surat itu lecek tak beraturan.

Ki, maafin aa, ya? Aa tau, aa udah buat kesalahan yang sangat besar, tapi tolong, aa minta maaf, ya?

Ki, lo yang tenang disana, ya? Bahagia terus disana, sekarang lo udah gak rasain sakit lagi, lo udah gak dengerin omelan gua lagi, makasih ya, Ki.. Makasih lo udah mau sabar hadapin gua, makasih lo udah mau jadi adik gua, gua sayang Ki sama lo, nanti gua sering-sering kesana ya, Ki? Gua disini bakal selalu doain lo, lo bahagia terus ya, gua bakal usaha buat diri gua bahagia, Ki..

Semesta, tolong jaga Kia disana, ya?

Maafin aa Idar, Kia..

Terima kasih, Kia adikku

  • Haidar Candrawinata

Perpisahan

Entah kenapa rasanya memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya guna melepas penat hanya sebuah kesalahan besar. Pasalnya, setiap melihat gadis yang seumuran dengan Kia hanya akan mengingatkan dirinya pada gadis mungil yang selalu merajuk ketika meminta sesuatu.

Haidar mendesah pelan, dikeluarkannya sebatang tembakau dan sebuah pemantik dari saku jaketnya, kemudian disulutnya api pada rokok dalam genggamannya. Diisapnya asap dari benda kecil itu pelan-pelan, kemudian dihembuskannya di udara, berharap beban yang ada di pundaknya juga ikut terbang bersama kepulan asap kendaraan dan rokok yang membaur jadi satu.

Ia melemparkan pandangannya ke arah kanan, tampak siluet tubuh Eri sedang tertawa lepas bersama laki-laki yang Haidar yakini adalah Andra. Tanpa pikir panjang, Ia bangkit dari duduknya kemudian melemparkan putung rokoknya ke sembarang arah sebelum akhirnya berjalan mendekati kekasihnya.

“Bangsat lo, Andra!” tanpa aba-aba dan perintah, Haidar yang murka sontak memukul wajah Andra dengan kepalan tangannya begitu ia tiba di hadapan keduanya.

Andra yang mendapat perlakuan tiba-tiba dari Haidar seketika terhuyung dan terjatuh menyentuh aspal. Pipinya lebam, hidungnya mengeluarkan darah berkat pukulan Haidar yang sangat keras. Haidar bisa berasumsi, bahwa bogem mentah yang dilayangkannya barusan berhasil mematahkan tulang hidung Andra.

Eri yang semula sibuk mengikat rambutnya spontan berteriak begitu melihat Andra tersungkur tak berdaya, “Andra!” Eri berniat berjongkok untuk membantu Andra berdiri urung karena lagi-lagi Haidar melayangkan pukulan keras pada wajah Andra.

“Bangun lo, Andra!” teriak Haidar dengan emosi yang meletup-letup. Tangannya yang terkepal masih terus menghantam wajah Andra, hingga Andra terus-menerus terbatuk dengan mengeluarkan darah.

“Haidar cukup!” Eri akhirnya berusaha melerai keduanya sebelum Haidar berubah menjadi pembunuh saat itu juga.

Mendengar teriakan Eri yang frustasi, Haidar akhirnya menghentikan aksinya dengan mendorong kasar Andra. Kemudian bangkit dan merapikan pakaiannya.

“Kok lo bisa di sini?” pertanyaan Eri terlontar pada Haidar. Haidar yang mendapat pertanyaan sambil memperhatikan Eri yang kini berjongkok membantu Andra berdiri hanya mampu berdecih dan membuang salivanya ke sembarang arah.

“Lo ngapain bantuin cowo ini? Gua pacar lo, Er! Ikut gua lo sekarang!” perintah Haidar. Tangannya dengan paksa menarik lengan Eri, hingga timbul penolakan dan protes keras dari Eri.

“Haidar sakit!” pekik Eri sambil berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Haidar.

Andra yang melihat Eri ditarik paksa oleh Haidar berusaha bangkit dengan sisa tenaganya. Kemudian mencengkram tangan Haidar dan Eri, bermaksud melepaskan genggaman Haidar pada Eri. “Jangan kasar sama cewe, Anjing! lepasin gak!” bentak Andra.

Haidar tidak terima atas sikap ikut campur Andra, dilepasnya cengkramannya pada Eri kemudian dikepalnya kembali tangannya. “Bangsat lo! Kalo gatau apa apa diem, anjing!” maki Haidar bersamaan dengan satu pukulan yang mendarat pada wajah Andra, membuat Andra lagi-lagi dibuat tak berdaya.

Eri yang menyaksikan kemarahan Haidar hanya mampu menutup mulutnya dengan tangannya, kemudian segera membantu Andra untuk bangkit, namun belum sempat berdiri, Haidar dengan kasar menarik tangan Eri. “Cukup, Eri! Ikut gua sekarang!” titah Haidar, kemudian menyeret Eri menjauhi keramaian.

Langkah Haidar besar-besar, napasnya memburu, menandakan bahwa laki-laki yang membawa Eri pergi memang sedang berada di puncak kemarahan yang tak lagi bisa terbendung. Cengkraman Haidar begitu kuat, hingga menimbulkan bekas kemerahan pada pergelangan tangannya. Dengan susah payah Eri berusaha berontak, namun perbuatannya justru hanya membuat genggaman Haidar semakin kuat dan kuat lagi.

Eri yang saat itu tengah memakai high heels sedikit terseok-seok mengikuti langkah kaki Haidar yang entah akan membawanya kemana. Yang Eri tau, saat ini mereka tengah berada di jalan kecil dengan penerangan yang redup, membuat bulu kuduk Eri meremang memikirkan apa yang akan Haidar lakukan padanya setelah ini.

“Apaan sih, Dar! Sakit! Lepasin gak!” Eri memekik, meringis menahan sakit yang bersumber tidak hanya dari pergelangan tangannya, tapi juga kakinya yang mungkin lecet.

Di hadapannya, Haidar berhenti dengan tiba-tiba, membuat Eri tanpa sengaja menabrak punggung kokoh milik laki-laki itu. Dengan gerakan kasar dan tanpa melepaskan tangannya dari Eri, Haidar berbalik. “Sebelum gua lepasin, gua mau tanya sama lo! Udah berapa lama lo jalan sama Andra? 1 bulan? 2 bulan? Atau bahkan 3 bulan?” tanya Haidar dengan nada yang sedikit lebih tinggi. Eri yang gusar mendengar pertanyaan yang diajukan Haidar memilih menunduk, digigitnya bibirnya dengan gugup karena jujur, Eri tidak siap dengan situasi yang ia alami saat ini.

Lama Eri hanya diam, hingga membuat Haidar mengehela napasnya dengan kasar. Laki-laki itu memejamkan matanya sesaat, berusaha menahan emosinya agar tidak melayangkan pukulan pada perempuan di hadapannya. “Jawab, Eri! Gua butuh jawaban lo!” bentak Haidar, suaranya menggema hingga ke ujung jalan yang sepi.

“Lebih dari itu!” Eri akhirnya buka suara. Mendengar jawaban Eri, Haidar diam, tidak menyangka bahwa perempuan yang sangat dicintainya ternyata tega mengkhianatinya dengan banyak hal. Seolah tidak cukup kepergian Kia menyertai dirinya dan informasi tentang Eri yang berusaha menyakiti adiknya, hari ini ia kembali di hadapkan dengan kenyataan bahwa selama ini Eri main di belakang tanpa sepengetahuannya.

Perlahan dilepaskannya genggaman tangannya dari pergelangan tangan Eri. Berita yang baru saja diterimanya seolah mengambil seluruh kosakata yang ada dalam kepalanya. Hatinya begitu sakit, hingga ia tidak tau bagaimana cara mendeskripsikannya. Mungkinkah ini cara Tuhan menghukumnya? Batin Haidar.

“Lo tau dari mana gue disini? Penguntit?” Eri menyilangkan tangannya di dada. Memperhatikan Haidar yang kini tertunduk.

Laki-laki itu mendongak, menatap nyalang Eri dengan tatapan tajamnya, tidak terima dengan ucapan Eri yang menyebutnya sebagai penguntit. “Jaga omongan lo, gua kesini pengen tanya sama lo!”

“Apa?” Eri tidak menatap Haidar, melainkan kuku-kukunya yang dilapisi nail polish berwarna ungu. Membuat Haidar kembali tersulut emosi.

Dicengkramnya bahu Eri, bermaksud meminta perhatian dari perempuan yang dulu begitu dikaguminya. “Gua tanya sama lo, apa bener lo yang nyulik, Kia?” tatapannya dingin menghunus mata Eri. Membuat Eri tak bisa berkutik untuk sekedar membuang pandangannya dari Haidar. Mulutnya kelu, lagi-lagi ia tidak tau bagaimana harus menjawabnya.

Tak kunjung memperoleh respon, Haidar bertanya kembali. “Terus apa bener selama ini lo berusaha buat jauhin Kia dari gua? Iya!? Jawab Eri, jawab!” teriaknya frustasi.

“Haidar, gue gak bermaksud buat jauhin lo sama Kia, gue ga bermaksud kaya gitu hiks..” Eri menjawab sembari menundukkan kepalanya, ia takut jika melihat wajah Haidar yang saat ini wajahnya di penuhi oleh amarah.

“Gak usah sok nangis lo depan gua, gak mempan. Er, gua masih bingung deh sama lo, maksud tujuan lo itu apa? Oh atau selama ini rasa cinta dan sayang lo buat gua itu cuman palsu? Cuman mau mainin hati gua? Iya!?” bentak Haidar pada Eri.

“Dar, gak gitu, gue beneran sayang sama lo, gue cinta sama lo, gue-” ucapan Eri terpotong oleh Haidar.

“Kalo lo sayang dan cinta sama gua, kenapa lo lakuin ini, Er? Kenapa lo jauhin Kia dari gua? Kenapa!?” bentak Haidar kembali.

“Dar, gue cuman ga pengen rasa sayang lo ke gue terbagi,” ucap Eri dan kembali menatap Haidar.

“Tapi gak gini caranya!, lo gak mesti lakuin semua itu, justru dengan perlakuan lo yang kaya gitu malah bikin gua makin benci sama lo, Er! Gua tau sikap gua ke Kia emang jahat, tapi lo ga mesti lakuin semua itu, lo justru lebih jahat dari gua, Er..”

“Dan gak cuman itu, gua tau, Er, lo yang nabrak mobil bokap gua kan? Lo yang buat bokap gua meninggal? Iya kan?”

Haidar kembali mengcengkram bahu Eri sehingga membuat Eri ketakutan menghadapi Haidar saat ini.

“Er!, jawab!” bentak Haidar pada Eri.

“Dar, itu gue gak sengaja, gue lagi keadaan ngantuk waktu itu, dan ga sengaja gue nabrak mobil bokap lo, gue gaada niatan buat nabrakin mobil bokap lo, Dar..” Eri menjawab dengan wajah penuh penyesalan nya itu.

“Gak sengaja? Gak sengaja lo bilang!? Kalo emang lo gak sengaja, kenapa lo gak tanggung jawab? Kenapa lo kabur, Er? Kenapa!? Secara gak langsung, lo ngebuat gua benci sama Kia, Er..”

“Haidar, maafin gue.. Gue minta maaf atas perlakuan gue selama ini, please maafin gue, ya?”

“Percuma Eri, percuma lo minta maaf ke gua, semua permintaan maaf lo gak bakal ngubah semuanya, gua udah capek sama lo, gua muak liat muka lo lagi!”

Haidar melangkahkan kakinya menjauh, tak ingin melihat wajah Eri lebih lama lagi.

“Dar, gue mohon jangan pergi.” Eri mulai menangis, langkahnya mengikuti Haidar, berusaha menarik lengan laki-laki itu agar tidak melangkah lebih jauh.

“Lepasin gua Er!” Haidar melepaskan tangan Eri dengan kasar. “Jangan harap gua sudi liat muka lo lagi!” bentak Haidar sambil menunjuk wajah Eri dengan jari nya itu, Haidar pun kembali berjalan meninggalkan Eri seorang diri.

“Gue sayang lo Haidar! Dar, please jangan tinggalin gue, hikss.” Tubuh Eri merosot perlahan, mengamati punggung Haidar yang mulai menjauh. Airmata yang sedari tadi ia bendung mulai turun dengan deras. Ia baru saja kehilangan sosok lelaki yang sangat ia sayangi.

Walaupun Eri telah membuat kesalahan besar pada Haidar, tetap saja dirinya selalu berhadap bahwa Haidar bisa kembali lagi bersama nya, padahal kenyataannya Haidar tidak akan kembali bersama Eri.

Tugas

“Ayo cepet naik, keburu telat,” pinta Abian.

“Sabar sih, Abian.. Ini tali nya susah, lagian lo sih otw ga bilang gue, jadinya kan gue belom siap,” balas Alana dengan kesal sambil mengikat tali sepatunya.

“Ya gimana ya, haha yaudah sini sini gue bantuin,”

“Gak usah, udah kelar nih ayok,”

“Yee dasar, yaudah pake helm nya,”

“Iyaa Abiaaannn ini lagi di pakeee,”

“Pinterrr,”

Abian pun melajukan motor nya dengan kecepatan normal untuk menuju ke sekolah, ia terlebih dahulu menurunkan Alana di gerbang sekolah kemudian ia memarkirkan motor nya di parkiran.

“Al, lo duluan aja tar gue nyusul,” pinta Abian.

“Mau kemana lo? Bolos ya?” tanya Alana sambil turun dari motor.

“Dih yakali ketos bolos, gue mau parkir dulu rame soalnya takut lama,”

“Yaudah gue duluan, awas lo kalo bolos,”

“Enggak, Alana,”

“Yaudah byee,”

“Byee,”

Alana pun meninggalkan Abian dan langsung menuju ke kelasnya, di tengah perjalanan ia bertemu dengan Tama.

“Haii, Al.” Tama menyapa sambil berjalan di samping Alana.

“Eh Tama, haii, tumben dateng nya agak siang,” balas Alana.

“Iyaa tadi kena macet banyak semut lewat,”

“Haha ngelawak lo, eh iya btw lo udah kerjain tugas mtk nya pak Danu belum? Gue belum anjir,”

“Yang mana? Ohhh yang halaman 58 yaa? Gue juga belommm, ayo lah gece ke kelas keburu masuk anjir,”

“Ayo ayooo,”

Alana dan Tama pun berlari ke kelas untuk mengerjakan tugas terlebih dahulu.

“Sasaaaa, lo udah belom tugas pak Danuuuu?” tanya Alana sambil berlari menghampiri Sasa teman sebangkunya itu.

“Hah? Yang mana anjir?” tanya Sasa kembali.

“Itu halaman 58,” jawab Alana.

“OHH ITUU, haha udah anjir, kaget gue.. Emang lo belom?” tanya Sasa.

“Belom hehe, liat dongg,” jawab Alana sambil nyengir cengengesan.

“Hadehh dasar, nih nih,” ucap Sasa sambil memberikan bukunya.

“Makasih bestieeee,” balas Alana.

Alana pun mengerjakan tugas tersebut, ia mengajak Tama untuk mengerjakan bersama, setelah beberapa menit kemudian pak Danu pun datang dan langsung memulai pelajaran mtk di kelas tersebut.

Makam

Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore yang dimana Haidar menunggu kehadiran Clara, ia duduk di bangku Neo cafe tersebut.

Tak lama kemudian akhirnya Clara datang dan langsung menghampirinya.

“Haii, kak,” sapa Clara.

“Hai, Clar, jadi apa yang mau di omongin?” tanya Haidar.

“Jadi gini kak, sebelumnya gue dateng kesini mau minta maaf ke lo, maaf setelah kejadian pada hari itu kita ga datengin lo lagi, jujur kita kecewa kak sama apa yang udah lo perbuat, asal lo tau aja kak, kita sebenernya benci sama lo, marah sama lo, tapi kita gak bisa, kita inget Kia, kak. Kia minta kita buat jagain lo, Kia nitipin lo ke kita, kak.”

“Clar, seharusnya gua yang minta maaf sama lo, sama yang lain juga, maaf kalo selama ini sifat gua selalu emosian, maaf kalo selama ini gua selalu nyakitin kalian.. Clar, maafin gua, ya?”

“Iyaa kak, gue maafin lo, temen-temen juga pasti bakal maafin lo.”

Haidar menunduk, ia menahan dirinya agar tidak nangis di hadapan Clara.

“Kak, ada yang pengen gue bicarain lagi soal Kia,”

Haidar menangkat kepalanya dan kembali menatap Clara, “Apa, Clar?” Haidar bertanya.

“Sebelum kejadian pas waktu itu, Kia kerumah gue malem nya, dia dateng dengan keadaan kacau banget, dia basah kehujanan, menggigil, dan gue langsung bawa dia ke dalem rumah gue langsung nyiapin baju buat dia segala macem.. Dan pada akhirnya dia cerita kak sama gue sama Reina, lo tau ga apa yang dia ceritain? Dia cerita masalah hidupnya kak, masalah hidupnya yang bener-bener sakit.. Kia cerita sama kita, dia cerita semuanya termasuk masalah penculikan, masalah bokap sama nyokap lo, masalah pacar lo. Gue tau kak lo benci sama Kia karena nyokap lo meninggal disaat lahirin Kia. Kak, nyokap lo meninggal mungkin emang udah takdirnya, tapi lo gabisa seenaknya salah-salahin Kia atas meninggalnya nyokap lo. Kia ga salah kak, kalo kia salah dia gabakal mau lahir di dunia ini, Kia juga ga minta dilahirin kak kalo kenyataan nya kaya gini… Terus masalah bokap lo, yang buat bokap lo kecelakaan bukan Kia kak, tapi kak Eri pacar lo, kak Eri penyebab kecelakaan itu, Kia bilang kalo kak Eri nabrak mobil dia dan mobil yang kak Eri bawa langsung kabur gitu aja. Kak, Kia juga ga rela bokap nya pergi kaya gini, bukan cuman lo yang merasa kehilangan, tapi Kia juga, kak. Terus masalah penculikan lagi lagi itu kak Eri, kak Eri nyulik Kia biar dia bisa dapetin lo, kak. Tapi kenapa sih lo dari dulu ga pernah sadar masalah ini? Kenapa, kak!? ka Eri yang lo anggap baik aslinya engga!, semua penyebab masalah ini ada di kak Eri. Gue mohon kak sama lo, tolong pikirin ini lagi, jangan lagi lo deketin kak Eri, gue cuman gamau nanti nya Kia sedih disana, sebenernya Kia terima aja lo sama kak Eri, tapi tolong lo pikir lagi, ya? Kia cuman pengen lo bahagia kak, ntah sama siapa pun itu, tapi kita mohon sama lo untuk cari perempuan yang baik, gak kaya kak Eri.”

Haidar terdiam, ia menahan emosi nya agar tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan, yang ia rasakan saat ini hanyalah sakit yang ada pada hatinya, ia merasa kecewa sama atas apa yang telah Eri lakukan.

“Clar, thanks ya.. Gua duluan,” ucap Haidar yang bangkit dari duduknya.

“Kak, tunggu,” tahan Clara.

Clara mengambil sesuatu di dalam tas nya dan langsung diberikan kepada Haidar.

“Ini apa?” tanya Haidar sambil memegang barang itu.

“Itu surat kak, gue nemu di tas Kia, waktu itu tas nya ketinggalan dirumah gue, dan surat itu tertulis untuk lo,” jawab Clara.

“Ohh, oke, makasih ya, gue duluan,” pamit Haidar.

“Okee, kak,”

Haidar pun meninggalkan Clara dan pergi ke pemakaman Kia yang dimana pemakaman tersebut dekat dengan makam orang tuanya.

“Hai, Ki? Hehe sorry ya gua baru kesini lagi, gimana Ki disana? Tenang gak? Pasti bahagia ya Ki disana, karena disana gaada gua yang selalu nyakitin lo, Ki.. Ki, perlahan gua bakal ikhlasin lo, mungkin ini balesan tuhan buat gua, tapi kenapa harus kaya gini, Ki? Kenapa? Kenapa harus lo yang pergi duluan? Harus nya gua, Ki.. Lo berhak bahagia di dunia Ki, Gak disini. Ki, lo disana gak sendiri kan? Ada malaikat kan yang jagain lo? Ki, lo harus bahagia ya disana.. Maafin gua ya, Ki? Maafin gua selama ini sikap gua sama lo selalu bikin lo sakit, gua tau mungkin maaf aja ga cukup buat lo, tapi tolong, gua mohon sama lo, maafin gua, ya? Hiks..”

Haidar merintihkan air matanya dengan menundukkan wajahnya, ia kini sedang berjongkok di samping makam Kia.

Tak lama kemudian ada seseorang yang menepuk pundak Haidar. Haidar yang menyadari hal itu langsung menengok dan berdiri di hadapan orang itu.

“Rakha?”

Spontan Haidar memeluk Rakha dengan erat. Reaksi Rakha saat ini hanya terdiam mematung, ia bingung apa yang terjadi dengan temannya ini.

“Dar, lo kenapa?”

“Kha, hiks.. Maafin gua ya, maafin gua yang selalu egois, maafin gua yang selalu kasar sama lo, maafin gua yang se-”

“Dar, udah.. Gua udah maafin lo,”

“Kha, maafin gua.. Hikss,”

“Dar, gapapa.. Gua sama yang lain udah maafin lo, lo tenang, ya?”

Rakha mengusap punggung Haidar pelan, ia berusaha membuat Haidar untuk tenang.

“Lo tenang aja ya? Gua sama yang lain bakal selalu ada buat lo, lo jangan pernah ngerasa kesepian, oke? Kalo ada apa apa hubungin gua, atau yang lainnya,” ucap Rakha sambil melepas pelukan itu dan memegang kedua pundak Haidar.

Haidar mengangguk pelan, kemudian ia membalikkan badan nya untuk menglihat makam adik nya itu.

Mereka berdua menatap makam Kia dengan dalam, mereka benar benar merasa kehilangan, terutama Haidar sebagai kakak kandung Kia, dan Rakha sebagai orang yang sudah menganggap Kia sebagai adiknya sendiri.

Semesta

Percakapan Telepon

Halo Je, kenapa?” tanya Haidar.

Anjing, kemana aja lo bangsat, gua telpon berkali kali kenapa gak diangkat? Lo dimana anjing!

Je, lo kenapa sih? Gausah pake emosi bisa gak!?

Lo dimana, Haidar!?

Gua dirumah Eri, kenapa sih?

Bangsat Haidar, tinggalin pacar lo, anjing! Adek lo Dar, adek lo

Kia? Kenapa?

Adek lo, udah gaada, Dar..

Gaada apaan sih, lo kalo ngomong yang jelas dong anjir,

Adek lo Dar… Adek lo ninggalin kita semua! Adek lo meninggal, Haidar.

Hah? Je, lo kalo ngomong yang bener, anjing.

Lo kalo mau liat adek lo, dateng kerumah sakit harapan kita, sekarang!

Percakapan Telepon Terputus

Haidar yang mendengar penjelasan dari Jean langsung bergegas menuju kerumah sakit tanpa berpamitan dengan pacarnya itu. Ia langsung mencari taxi untuk menuju kerumah sakit.

Setelah beberapa menit kemudian akhirnya ia sampai dirumah sakit dan langsung menuju ke ruangan Kia.

Haidar terdiam, mengamati tubuh tak bergerak yang tertutupi kain putih di hadapannya. Lama ia sedikit ragu untuk mendekat, sebelum akhirnya ia berjalan dengan sangat pelan, menghampiri Kia yang sudah tak lagi bernyawa. Dibukanya kain putih yang menutupi jasad Kia dengan perlahan. Tampak wajah pucat Kia di sana, membuat Haidar menggigit bibirnya. Diraihnya tangan Kia yang kini terasa dingin, kemudian digenggamnya dengan erat.

“Ki, lo bercanda kan? Bangun Ki.”

“Ki, jangan tinggalin gua, ya? gua sayang sama lo, Ki.. Please bangun Kii,” ucap Haidar sambil memegang tangan Kia.

Tanpa ia sadar air mata miliknya terjatuh di pipinya itu.

“Ki bangunnnn.. Gua mohon sama lo,please bangun, ya? Izinin gua buat bahagiain lo, kasih gua kesempatan, Ki.. Please bangunnn!” ucap Haidar sambil menggoyangkan tubuh Kia.

“Dar, udah.. Percuma lo minta Kia bangun, dia gabakal bangun, Dar.. Udah, ya?” ucap Jean sambil memegang kedua lengan Haidar.

Clara dan Reina yang melihat hal itu langsung keluar meninggalkan Haidar di dalam bersama Jean dan Rakha.

“Dar, ini kan yang lo mau? Lo mau Kia ninggalin lo biar lo bisa pacaran sama Cewe lo itu, iya kan!?” ucap Rakha dengan emosi nya.

“Rakha! Jaga omongan lo, gua tau lo marah sama Haidar, tapi tolong, ngertiin posisi Haidar saat ini, ya?” sambung Jean sambil menenangkan Rakha.

Haidar berdiri dan langsung menghampiri Rakha.

“Lo kalo ngomong jangan sembarangan, Anjing!” serang Haidar.

Brugghh

Tonjokan dari tangan Haidar kini mendarat di pipi Rakha. Jean yang melihat hal itu langsung memisahkan Rakha dan Haidar.

“Kalian apa apan sih, kaya bocah tau gak, kalo mau ribut diluar, jangan disini, kita lagi berduka, tolong jangan buat keributan kaya gini! Lo semua udah pada gede otak nya tolong dipake!” bentak Jean.

“Ah, anjing!” ucap Rakha dengan kesal.

Rakha pergi meninggalkan kedua temannya itu dan berdiri di depan ruangan tersebut.

“Kak, lo kenapa lagi? Lo berantem sama kak Haidar?” tanya Clara sambil memperhatikan wajah rakha.

“Gak, gua gapapa,” jawab Rakha.

Mereka pun berkumpul untuk menunggu Haidar dan Jean keluar dari ruangan itu.

“Dar, hilangin kebiasaan lo yang kaya gitu, jangan suka asal nyerang orang, gua tau suasana hati lo lagi ga bagus, tapi tolong liat kondisi,” ucap Jean.

“Je, bisa tinggalin gua disini? Gua butuh waktu,” pinta Haidar.

“Bisa, Dar, kalo ada apa apa kabarin gua, ya?”

“Iya, thanks, Je,”

“Sama-sama”

Kemudian Jean pun keluar ruangan dan meninggalkan Haidar seorang diri.

“Ki, maafin gua, ya? Maaf karena gua selalu jahat sama lo, maaf gua belum bisa jadi kakak yang terbaik buat lo… Ki.. mungkin permintaan maaf gua sulit lo terima, tapi gua mohon kasih gua kesempatan buat memperbaiki semuanya, ya? Please wake up, gua janji, gua janji bakal bikin lo bahagia, tapi lo bangun ya, Ki? Hiks, Ki.. Please maafin gua, maafin kakak lo ini.. Ki, kenapa lo ninggalin gua duluan? Katanya lo sayang sama gua, tapi kenapa lo harus pergi? Kenapa?”

Saat ini Haidar hanya bisa menangis melihat keadaan Kia, ia selalu berharap Kia bisa bangun kembali, yang Haidar ingin kan saat ini hanyalah kesempatan. Ia ingin Kia bangun kembali dan membuatnya bahagia, ia hanya ingin membuat Kia bahagia, tapi semesta berkata lain, semesta mengambil Kia disaat Haidar belum bisa membahagiakannya.

Semesta, saya nitip Kia, ya? Tolong jaga Kia disana, bahagiain Kia, jangan seperti saya yang selalu menyakitinya,” batin Haidar.