Perpisahan

Entah kenapa rasanya memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya guna melepas penat hanya sebuah kesalahan besar. Pasalnya, setiap melihat gadis yang seumuran dengan Kia hanya akan mengingatkan dirinya pada gadis mungil yang selalu merajuk ketika meminta sesuatu.

Haidar mendesah pelan, dikeluarkannya sebatang tembakau dan sebuah pemantik dari saku jaketnya, kemudian disulutnya api pada rokok dalam genggamannya. Diisapnya asap dari benda kecil itu pelan-pelan, kemudian dihembuskannya di udara, berharap beban yang ada di pundaknya juga ikut terbang bersama kepulan asap kendaraan dan rokok yang membaur jadi satu.

Ia melemparkan pandangannya ke arah kanan, tampak siluet tubuh Eri sedang tertawa lepas bersama laki-laki yang Haidar yakini adalah Andra. Tanpa pikir panjang, Ia bangkit dari duduknya kemudian melemparkan putung rokoknya ke sembarang arah sebelum akhirnya berjalan mendekati kekasihnya.

“Bangsat lo, Andra!” tanpa aba-aba dan perintah, Haidar yang murka sontak memukul wajah Andra dengan kepalan tangannya begitu ia tiba di hadapan keduanya.

Andra yang mendapat perlakuan tiba-tiba dari Haidar seketika terhuyung dan terjatuh menyentuh aspal. Pipinya lebam, hidungnya mengeluarkan darah berkat pukulan Haidar yang sangat keras. Haidar bisa berasumsi, bahwa bogem mentah yang dilayangkannya barusan berhasil mematahkan tulang hidung Andra.

Eri yang semula sibuk mengikat rambutnya spontan berteriak begitu melihat Andra tersungkur tak berdaya, “Andra!” Eri berniat berjongkok untuk membantu Andra berdiri urung karena lagi-lagi Haidar melayangkan pukulan keras pada wajah Andra.

“Bangun lo, Andra!” teriak Haidar dengan emosi yang meletup-letup. Tangannya yang terkepal masih terus menghantam wajah Andra, hingga Andra terus-menerus terbatuk dengan mengeluarkan darah.

“Haidar cukup!” Eri akhirnya berusaha melerai keduanya sebelum Haidar berubah menjadi pembunuh saat itu juga.

Mendengar teriakan Eri yang frustasi, Haidar akhirnya menghentikan aksinya dengan mendorong kasar Andra. Kemudian bangkit dan merapikan pakaiannya.

“Kok lo bisa di sini?” pertanyaan Eri terlontar pada Haidar. Haidar yang mendapat pertanyaan sambil memperhatikan Eri yang kini berjongkok membantu Andra berdiri hanya mampu berdecih dan membuang salivanya ke sembarang arah.

“Lo ngapain bantuin cowo ini? Gua pacar lo, Er! Ikut gua lo sekarang!” perintah Haidar. Tangannya dengan paksa menarik lengan Eri, hingga timbul penolakan dan protes keras dari Eri.

“Haidar sakit!” pekik Eri sambil berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Haidar.

Andra yang melihat Eri ditarik paksa oleh Haidar berusaha bangkit dengan sisa tenaganya. Kemudian mencengkram tangan Haidar dan Eri, bermaksud melepaskan genggaman Haidar pada Eri. “Jangan kasar sama cewe, Anjing! lepasin gak!” bentak Andra.

Haidar tidak terima atas sikap ikut campur Andra, dilepasnya cengkramannya pada Eri kemudian dikepalnya kembali tangannya. “Bangsat lo! Kalo gatau apa apa diem, anjing!” maki Haidar bersamaan dengan satu pukulan yang mendarat pada wajah Andra, membuat Andra lagi-lagi dibuat tak berdaya.

Eri yang menyaksikan kemarahan Haidar hanya mampu menutup mulutnya dengan tangannya, kemudian segera membantu Andra untuk bangkit, namun belum sempat berdiri, Haidar dengan kasar menarik tangan Eri. “Cukup, Eri! Ikut gua sekarang!” titah Haidar, kemudian menyeret Eri menjauhi keramaian.

Langkah Haidar besar-besar, napasnya memburu, menandakan bahwa laki-laki yang membawa Eri pergi memang sedang berada di puncak kemarahan yang tak lagi bisa terbendung. Cengkraman Haidar begitu kuat, hingga menimbulkan bekas kemerahan pada pergelangan tangannya. Dengan susah payah Eri berusaha berontak, namun perbuatannya justru hanya membuat genggaman Haidar semakin kuat dan kuat lagi.

Eri yang saat itu tengah memakai high heels sedikit terseok-seok mengikuti langkah kaki Haidar yang entah akan membawanya kemana. Yang Eri tau, saat ini mereka tengah berada di jalan kecil dengan penerangan yang redup, membuat bulu kuduk Eri meremang memikirkan apa yang akan Haidar lakukan padanya setelah ini.

“Apaan sih, Dar! Sakit! Lepasin gak!” Eri memekik, meringis menahan sakit yang bersumber tidak hanya dari pergelangan tangannya, tapi juga kakinya yang mungkin lecet.

Di hadapannya, Haidar berhenti dengan tiba-tiba, membuat Eri tanpa sengaja menabrak punggung kokoh milik laki-laki itu. Dengan gerakan kasar dan tanpa melepaskan tangannya dari Eri, Haidar berbalik. “Sebelum gua lepasin, gua mau tanya sama lo! Udah berapa lama lo jalan sama Andra? 1 bulan? 2 bulan? Atau bahkan 3 bulan?” tanya Haidar dengan nada yang sedikit lebih tinggi. Eri yang gusar mendengar pertanyaan yang diajukan Haidar memilih menunduk, digigitnya bibirnya dengan gugup karena jujur, Eri tidak siap dengan situasi yang ia alami saat ini.

Lama Eri hanya diam, hingga membuat Haidar mengehela napasnya dengan kasar. Laki-laki itu memejamkan matanya sesaat, berusaha menahan emosinya agar tidak melayangkan pukulan pada perempuan di hadapannya. “Jawab, Eri! Gua butuh jawaban lo!” bentak Haidar, suaranya menggema hingga ke ujung jalan yang sepi.

“Lebih dari itu!” Eri akhirnya buka suara. Mendengar jawaban Eri, Haidar diam, tidak menyangka bahwa perempuan yang sangat dicintainya ternyata tega mengkhianatinya dengan banyak hal. Seolah tidak cukup kepergian Kia menyertai dirinya dan informasi tentang Eri yang berusaha menyakiti adiknya, hari ini ia kembali di hadapkan dengan kenyataan bahwa selama ini Eri main di belakang tanpa sepengetahuannya.

Perlahan dilepaskannya genggaman tangannya dari pergelangan tangan Eri. Berita yang baru saja diterimanya seolah mengambil seluruh kosakata yang ada dalam kepalanya. Hatinya begitu sakit, hingga ia tidak tau bagaimana cara mendeskripsikannya. Mungkinkah ini cara Tuhan menghukumnya? Batin Haidar.

“Lo tau dari mana gue disini? Penguntit?” Eri menyilangkan tangannya di dada. Memperhatikan Haidar yang kini tertunduk.

Laki-laki itu mendongak, menatap nyalang Eri dengan tatapan tajamnya, tidak terima dengan ucapan Eri yang menyebutnya sebagai penguntit. “Jaga omongan lo, gua kesini pengen tanya sama lo!”

“Apa?” Eri tidak menatap Haidar, melainkan kuku-kukunya yang dilapisi nail polish berwarna ungu. Membuat Haidar kembali tersulut emosi.

Dicengkramnya bahu Eri, bermaksud meminta perhatian dari perempuan yang dulu begitu dikaguminya. “Gua tanya sama lo, apa bener lo yang nyulik, Kia?” tatapannya dingin menghunus mata Eri. Membuat Eri tak bisa berkutik untuk sekedar membuang pandangannya dari Haidar. Mulutnya kelu, lagi-lagi ia tidak tau bagaimana harus menjawabnya.

Tak kunjung memperoleh respon, Haidar bertanya kembali. “Terus apa bener selama ini lo berusaha buat jauhin Kia dari gua? Iya!? Jawab Eri, jawab!” teriaknya frustasi.

“Haidar, gue gak bermaksud buat jauhin lo sama Kia, gue ga bermaksud kaya gitu hiks..” Eri menjawab sembari menundukkan kepalanya, ia takut jika melihat wajah Haidar yang saat ini wajahnya di penuhi oleh amarah.

“Gak usah sok nangis lo depan gua, gak mempan. Er, gua masih bingung deh sama lo, maksud tujuan lo itu apa? Oh atau selama ini rasa cinta dan sayang lo buat gua itu cuman palsu? Cuman mau mainin hati gua? Iya!?” bentak Haidar pada Eri.

“Dar, gak gitu, gue beneran sayang sama lo, gue cinta sama lo, gue-” ucapan Eri terpotong oleh Haidar.

“Kalo lo sayang dan cinta sama gua, kenapa lo lakuin ini, Er? Kenapa lo jauhin Kia dari gua? Kenapa!?” bentak Haidar kembali.

“Dar, gue cuman ga pengen rasa sayang lo ke gue terbagi,” ucap Eri dan kembali menatap Haidar.

“Tapi gak gini caranya!, lo gak mesti lakuin semua itu, justru dengan perlakuan lo yang kaya gitu malah bikin gua makin benci sama lo, Er! Gua tau sikap gua ke Kia emang jahat, tapi lo ga mesti lakuin semua itu, lo justru lebih jahat dari gua, Er..”

“Dan gak cuman itu, gua tau, Er, lo yang nabrak mobil bokap gua kan? Lo yang buat bokap gua meninggal? Iya kan?”

Haidar kembali mengcengkram bahu Eri sehingga membuat Eri ketakutan menghadapi Haidar saat ini.

“Er!, jawab!” bentak Haidar pada Eri.

“Dar, itu gue gak sengaja, gue lagi keadaan ngantuk waktu itu, dan ga sengaja gue nabrak mobil bokap lo, gue gaada niatan buat nabrakin mobil bokap lo, Dar..” Eri menjawab dengan wajah penuh penyesalan nya itu.

“Gak sengaja? Gak sengaja lo bilang!? Kalo emang lo gak sengaja, kenapa lo gak tanggung jawab? Kenapa lo kabur, Er? Kenapa!? Secara gak langsung, lo ngebuat gua benci sama Kia, Er..”

“Haidar, maafin gue.. Gue minta maaf atas perlakuan gue selama ini, please maafin gue, ya?”

“Percuma Eri, percuma lo minta maaf ke gua, semua permintaan maaf lo gak bakal ngubah semuanya, gua udah capek sama lo, gua muak liat muka lo lagi!”

Haidar melangkahkan kakinya menjauh, tak ingin melihat wajah Eri lebih lama lagi.

“Dar, gue mohon jangan pergi.” Eri mulai menangis, langkahnya mengikuti Haidar, berusaha menarik lengan laki-laki itu agar tidak melangkah lebih jauh.

“Lepasin gua Er!” Haidar melepaskan tangan Eri dengan kasar. “Jangan harap gua sudi liat muka lo lagi!” bentak Haidar sambil menunjuk wajah Eri dengan jari nya itu, Haidar pun kembali berjalan meninggalkan Eri seorang diri.

“Gue sayang lo Haidar! Dar, please jangan tinggalin gue, hikss.” Tubuh Eri merosot perlahan, mengamati punggung Haidar yang mulai menjauh. Airmata yang sedari tadi ia bendung mulai turun dengan deras. Ia baru saja kehilangan sosok lelaki yang sangat ia sayangi.

Walaupun Eri telah membuat kesalahan besar pada Haidar, tetap saja dirinya selalu berhadap bahwa Haidar bisa kembali lagi bersama nya, padahal kenyataannya Haidar tidak akan kembali bersama Eri.