Haidar pergi meninggalkan Eri seorang diri, ia merasa dirinya sangat lelah setelah melewati sebuah permasalahan pada malam itu, tapi disisi lain ia merasa sedikit lega bahwa dirinya bisa meninggalkan seseorang yang awalnya ia sayangi hingga saat ini sangat ia benci.

Haidar merebahkan tubuhnya di atas kasur, matanya menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Baru saja hendak memejamkan mata, tiba-tiba otaknya teringat oleh sebuah surat yang sempat diberikan Clara, pesan yang ditulis oleh mendiang Kia untuk dirinya. Ia segera bangkit, kemudian mulai mencarinya pada sebuah meja yang letaknya tidak jauh dari kasurnya. Nampak amplop berwarna coklat teronggok di antara beberapa tumpukan buku-bukunya. Segera Haidar meraihnya, kemudian mulai membukanya dengan hati-hati, seolah tak ingin merusak maha karya satu-satunya yang ditinggalkan Kia untuk dirinya.

Haidar membuka surat itu dengan perlahan, kemudian ia membaca surat itu.

Tes

Tes

Tes

Tak disadari air mata Haidar kini terjatuh membasahi pipinya, ia merasakan sesak di dada nya setelah membaca isi surat itu, kini ia hanya bisa terdiam di bangku kesayangannya itu.

Kemudian Haidar bangkit kembali dan merebahkan tubuh nya di kasur, ia merasakan penyesalan pada diri nya, penyesalan terbesar yang ada pada diri Haidar hanyalah sebuah kelalaian, tak seharusnya ia memperlakukan adiknya seperti ini, andai saja waktu itu ia tidak menyia-nyiakan hari nya bersama Kia, pasti dirinya saat ini tidak seberat apa yang ia rasakan.

Haidar menangis kembali, ia mengingat semua perjuangan Kia bagaimana Kia membesarkan dirinya tanpa hadir nya seorang kakak. Ia merasa sangat terpukul, merasa sangat kehilangan, dan saat ini ia kehilangan orang-orang yang sayang padanya, termasuk orang tuanya, adiknya, dan pacarnya.

Ki.. Kenapa gak bilang kalau lo punya penyakit itu? Kenapa gak bilang sama gua Ki, Kenapa!?” sesal Haidar sambil memukul kepalanya.

Haidar, lo bego, tolol, lo gak pantes buat hidup, Anjing! Dar, kenapa sifat lo kaya gini, lo ga pantes buat jadi aa nya Kia, Dar..

Lagi-lagi ia memukul dirinya sendiri karena kesesalannya itu. Ia hanya bisa meluapkan amarahnya pada dirinya sendiri, Haidar tidak bisa meluapkan emosinya pada orang lain , karena bagaimana pun juga ini semua kesahalan Haidar, dan ia harus tanggung jawab pada dirinya sendiri.

Ki, lo bilang lo mau ke pantai? Ayo Ki kita ke pantai, kapan mau ke pantai? Mau sekarang atau besok? Gua selalu siap buat anter lo, Ki..

Ki, ayo main bareng..

Haidar kembali menahan rasa sesak di dadanya, ia mengenggam surat dari Kia, dengan sengaja ia mengepalkan tangannya dan membuat surat itu lecek tak beraturan.

Ki, maafin aa, ya? Aa tau, aa udah buat kesalahan yang sangat besar, tapi tolong, aa minta maaf, ya?

Ki, lo yang tenang disana, ya? Bahagia terus disana, sekarang lo udah gak rasain sakit lagi, lo udah gak dengerin omelan gua lagi, makasih ya, Ki.. Makasih lo udah mau sabar hadapin gua, makasih lo udah mau jadi adik gua, gua sayang Ki sama lo, nanti gua sering-sering kesana ya, Ki? Gua disini bakal selalu doain lo, lo bahagia terus ya, gua bakal usaha buat diri gua bahagia, Ki..

Semesta, tolong jaga Kia disana, ya?

Terima kasih, Kia adikku